Senin, 26 Mei 2014

Bedah Sistem MLM

Karena banyak yang menagih tulisan skema piramida vs. MLM padatulisan terdahulu, maka saya tuliskan pendapat saya mengenai perbedaan dan persamaan skema piramida dan MLM. Banyak orang yang menganjurkan untuk menghindari skema piramida tetapi bukan MLM, termasuk saya. Tetapi apakah itu sudah cukup?

Skema piramida adalah sebuah model bisnis yang tidak dapat diandalkan. Keuntungan dari seorang anggota murni berasal dari hasil merekrut anggota yang lain. Jika anggota tidak melakukan perekrutan, maka dapat dipastikan bahwa dia tidak akan mendapat keuntungan. Kebanyakan skema piramida tidak menjual produk, tetapi ada beberapa yang menggunakan ‘produk’ sebagai kedok. Anggota yang berada pada tingkat bawah atau dekat dengan tingkat paling bawah sudah dapat dipastikan merugi.

Di sisi lain, Multi level marketing (MLM) memiliki struktur mirip dengan skema piramida dimana seorang anggota berusaha merekrut orang lain untuk menjadi anggota. 

Perbedaannya, pada MLM ada produk yang diperjualbelikan. Keuntungan didapatkan jika seorang anggota atau downline-nya melakukan penjualan produk. Artinya, walaupun anggota berada pada tingkat paling bawah, potensi untuk mendapatkan keuntungan masih terbuka.

Potensi untuk mendapatkan keuntungan masih terbuka. Yang harus digarisbawahi di sini adalah kata ‘potensi’. Artinya terbuka kesempatan bagi anggota tingkat terbawah untuk mendapatkan keuntungan, tetapi tentunya belum dapat dipastikan bahwa semua anggota tingkat terbawah akan mendapatkan keuntungan.

Bagaimana ciri-ciri MLM (atau bisnis apapun lainnya) yang baik? Yang utama adalah bahwa seluruh anggota secara kolektif tidak merugi. Bisa saja ada anggota-anggota yang merugi secara pribadi, ini wajar dalam bisnis apapun, akan tetapi sistem secara keseluruhan tidak merugi, atau paling tidak tidak merugi secara terus menerus. Ini adalah prakondisi sistem perdagangan yang sustainable dan mengutamakan asas win win solution.
Pada sistem distribusi melalui MLM ada beberapa kelompok yang terlibat:
  • Produsen, adalah produsen yang produk-produknya disalurkan melalui sistem MLM.
  • Distributor, adalah anggota masyarakat yang direkrut untuk memasarkan produk-produk produsen dan merekrut distributor lainnya dengan imbalan tertentu.
  • Konsumen non distributor, adalah masyarakat pengguna produk.
Menghitung untung rugi sistem ini sebenarnya tidaklah sulit, dan tidak perlu melibatkan hitung-hitungan komisi sangat rumit yang tentunya berbeda untuk MLM yang berbeda.
Kunci dari sistem ini adalah kelompok distributor. Pada MLM yang baik, kelompok distributor ini secara keseluruhan tidak merugi. Bagaimana supaya tidak merugi? Materi yang masuk ke kelompok distributor ini haruslah lebih besar daripada materi yang keluar meninggalkan kelompok ini. Untuk mengetahuinya kita harus memilah-milah jenis-jenis transaksi dari sudut pandang kelompok distributor.
  1. Produsen mengirim produk ke distributor.
    a. produk untuk dikonsumsi distributor sendiri.
    b. produk untuk dikonsumsi konsumen di luar distributor.
  2. Distributor mengirim produk ke konsumen.
  3. Konsumen membayar harga produk ke distributor.
  4. Distributor membayar harga produk ke produsen.
    a. harga produk untuk dikonsumsi distributor sendiri.
    b. harga produk untuk dikonsumsi konsumen di luar distributor.
  5. Sumber daya yang harus dikeluarkan distributor sebagai konsekuensi menjalankan tugas sebagai distributor.
  6. Perpindahan dana akibat proses perekrutan.
    a. Dana yang diterima oleh distributor sebagai konsekuensi memiliki downline
    b. Dana yang disetor oleh distributor sebagai konsekuensi memilikiupline
1b dan 2 saling mengeliminasi. 3 lebih besar daripada 4b, selisihnya adalah profit bagi distributor secara keseluruhan. 1a dan 4a dapat disatukan sebagai transaksi jual beli antara produsen dan distributor, produsen mendapatkan uang harga produk dari distributor, sedangkan distributor tidak mendapatkan profit, tetapi mendapatkan manfaat dari produk. 6a dan 6b saling mengeliminasi.
Setelah mengeliminasi faktor-faktor yang saling berlawanan, hasilnya adalah seperti di bawah ini:
  1. Transaksi jual beli antara produsen dan distributor (1a dan 4a). Produk dipakai oleh distributor sendiri.
  2. Konsumen mengirim dana sebagai keuntungan kotor ke distributor, jika distributor menjual produk ke konsumen di luar distributor (3 dan 4b).
  3. Sumber daya yang harus dikeluarkan distributor sebagai konsekuensi menjalankan tugas sebagai distributor.
Catatan: Transaksi di atas sudah melalui proses generalisasi. Bisa saja seorang distributor menerima bonus dari produsen, dari upline-nya, dari upline upline-nya. Tetapi pada dasarnya uang yang diterima berasal dari keuntungan hasil penjualan produk ke kelompok masyarakat non distributor. Sedangkan bonus yang diterima akibat merekrut seorang distributor akan saling menghilangkan dengan dana yang disetorkan oleh distributor baru tersebut.

Dengan demikian, satu-satunya sumber keuntungan yang didapatkan oleh kelompok distributor secara kolektif adalah jika mereka menjual produk ke masyarakat yang tidak tergabung dalam kelompok distributor. Pendapatan kelompok distributor secara keseluruhan menjadi positif seandainya 2 > 3.

Yang menjadi masalah adalah sistem MLM di dalam kelompok distributor sendiri tidak menganjurkan menjual langsung ke masyarakat non distributor. Distributor-distributor secara individu diberi insentif lebih tinggi untuk merekrut anggota kelompok konsumen untuk menjadi distributor, ketimbang untuk menjual produk ke mereka. Di sisi lain, semakin banyak anggota kelompok distributor, maka semakin tinggi beban untuk mencapai keuntungan kolektif. Mereka harus menjual lebih banyak produk lagi ke masyarakat non distributor, dan di sisi lain, anggota masyarakat yang tertarik dengan produk tersebut mungkin sudah tertarik untuk menjadi distributor.

Pada beberapa presentasi MLM yang saya ikuti (atau lebih tepatnya menjebak saya), mereka selalu melecehkan sistem penjualan door-to-door. “Untuk apa menjual seperti sales keliling, jika dengan merekrut distributor baru kita akan mendapatkan keuntungan lebih banyak?” Padahal pada kenyataannya sistem penjualan langsung ke masyarakat tanpa mengajak mereka menjadi distributor ternyata jauh lebih menguntungkan bagi kelompok distributor secara kolektif.

Singkatnya, menjual produk ke masyarakat non distributor sebanyak-banyaknya adalah sebenarnya yang harus dilakukan oleh kelompok distributor secara kolektif. Tetapi secara individu, merekrut masyarakat untuk dijadikan distributor jauh lebih menjanjikan.
Kesimpulannya, MLM yang baik adalah MLM yang memberi insentif lebih tinggi bagi distributornya untuk menjual produk ke anggota masyarakat non distributor ketimbang untuk merekrut distributor baru. Adakah MLM yang seperti itu? Saya pribadi belum menemukannya.

Jika ada manfaat yang nyata dengan menjadi ‘distributor’ MLM, maka itu adalah point nomor 1 di atas: untuk mendapatkan produk-produk dari produsen dengan harga diskon, dengan kata lain kelompok distributor menjadi mirip seperti keanggotaan klub belanja. Tetapi rasanya sebagian besar orang-orang memilih menjadi distributor bukan untuk mendapatkan produk-produk dengan harga diskon.

Kemudian ada masalah margin keuntungan. Untuk produk-produk yang dijual ke masyarakat non distributor melalui MLM, margin keuntungannya jauh lebih tinggi daripada jika dijual melalui jalur distribusi tradisional. Mengapa ini bisa terjadi? Karena distributor mendapatkan komisi dari produk-produk yang dijual ke masyarakat non distributor. Terkadang, margin keuntungan ini bisa mencapai 80%!

Bagaimana caranya menghitung margin keuntungan ini? Sebenarnya tidak sulit, hanya saja kita perlu mempelajari struktur komisi dari MLM yang bersangkutan. Singkatnya, harga produk setelah dikurangi komisi yang dibayarkan ke distributor akan tidak jauh berbeda seandainya produk yang bersangkutan dijual melalui jalur distribusi tradisional. Akibatnya, akan sangat sulit bagi distributor untuk menjual produk yang berkompetisi dengan produk lain yang dijual melalui jalur distribusi tradisional.

Bagaimana jika kita tinjau dari ruang lingkup produsen? Dari sisi produsen, kelompok distributor dan masyarakat di luar distributor keduanya adalah konsumen. Produsen akan mendapatkan keuntungan terlepas dari siapa yang membeli produknya. Produsen sama sekali tidak perlu mengeluarkan biaya pemasaran, kelompok distributor yang akan dengan sukarela melakukannya untuk mereka, dan bahkan produsen akan mendapatkan keuntungan tambahan yang sangat signifikan dari kegiatan tersebut! Tanpa mempertimbangkan faktor moralitas dan reputasi, dari ruang lingkup produsen, pemasaran melalui MLM adalah cara pemasaran yang revolusioner.

Dengan demikian kini saya berkeyakinan bahwa MLM adalah salah satu bentuk money game terselubung. Perbedaannya terletak hanya pada status saja, resmi atau tidak resmi, legal atau tidak legal. Pengecualian ada pada MLM yang menitikberatkan penjualan produk ke masyarakat non distributor ketimbang melakukan perekrutan distributor baru.

***
Contoh soal:
Perusahaan PT. Acme Sejahtera adalah produsen tempaan merk AnvilX™. Perusahaan ini memasarkan AnvilX™ melalui jaringan MLM. Biaya modal untuk memroduksi AnvilX™ adalah Rp 900, dan produk ini dijual ke publik dengan harga resmi sebesar Rp 1500. Sedangkan jika yang membeli adalah distributor, harganya cuma Rp 1000. Setiap kali distributor menjual ke masyarakat non distributor maka ia akan mendapatkan komisi Rp 300, dan upline-nya mendapatkan komisi Rp 200.

Untuk menjadi seorang distributor, maka distributor tersebut harus membayar biaya pendaftaran sebesar Rp 300. Sedangkan jika seorang distributor merekrut distributor baru, maka ia akan mendapat komisi Rp 300. Pekerjaan sebagai distributor ini menuntut biaya operasional sebesar Rp 100/bulan.

Karena MLM Acme adalah MLM yang masih baru, MLM ini baru memiliki 3 orang distributor, yaitu A sebagai distributor pertama, serta B dan C sebagai downline dari A.

Skenario 1: para distributor ini memfokuskan diri untuk merekrut distributor baru tanpa melakukan penjualan baik ke mereka sendiri maupun ke luar kelompok distributor.
Anggaplah B dan C pada bulan ini keduanya berhasil merekrut masing-masing dua orang distributor yaitu D, E, F dan G. Artinya D, E, F dan G masing-masing menyetorkan Rp 300 dengan total keseluruhan Rp 1200. Dan karena masing-masing merekrut dua orang, B dan C masing-masing mendapatkan komisi 2xRp 300 yaitu sebesar Rp 600, totalnya adalah Rp 1200. Melalui aktifitas perekrutan ini, kondisi keuangan A tetap, B dan C bertambah masing-masing Rp 600 sedangkan D, E, F dan G berkurang masing-masing sebesar Rp 300. Sedangkan biaya operasional yang dikeluarkan A, B dan C adalah masing-masing Rp 100/bulan, dengan total Rp 300/bulan. Jika dihitung secara menyeluruh, maka kelompok distributor mendapat keuntungan sebesar 2xRp 600 dan kerugian sebesar 4xRp 300 + Rp 300. Jika dijumlahkan, kelompok distributor ini merugi sebesar Rp 300. Sedangkan keuntungan B dan C murni berasal dari kerugian D, E, F dan G.

Skenario 2: para distributor tidak berusaha untuk menjual keluar kelompok distributor maupun merekrut distributor baru, mereka hanya membeli AnvilX™ dari Acme.
Biaya operasional total untuk A, B, dan C adalah 3xRp 100/bulan = Rp 300/bulan. Anggaplah produk AnvilX™ dibutuhkan sebanyak satu buah untuk satu bulan. Maka A, B dan C akan membeli AnvilX™ sebanyak tiga buah dengan harga 3xRp1000 = Rp 3000. Anggaplah Rp 1000/produk adalah harga yang wajar, maka A, B dan C mendapatkan manfaat dari AnvilX™ yang sepadan dengan harga yang dibayarkan. Maka secara keseluruhan kelompok distributor merugi sebanyak biaya operasional yaitu sebesar Rp 300.
Catatan: seandainya upline mendapat komisi dari transaksi ini, maka hasilnya akan tetap sama. Karena biaya yang dikeluarkan sudah termasuk komisi untuk upline, sedangkan harga intrinsik AnvilX™ itu sendiri adalah harga AnvilX™ setelah dikurangi komisi untuk upline.

Skenario 3: para distributor tidak melakukan perekrutan, tidak membeli produk, tetapi hanya memfokuskan diri untuk menjual AnvilX™ ke masyarakat non distributor tanpa mengajak mereka untuk menjadi distributor (menjual secara retail).

Biaya operasional total untuk A, B dan C tetap konstan yaitu Rp 300/bulan. Asumsikan B dan C masing-masing berhasil menjual AnvilX™ sebanyak satu buah. Komisi penjualan masing-masing adalah Rp 300, dan dari dua penjualan itu juga maka A akan mendapatkan 2xRp 200 = Rp 400. Total pemasukan adalah Rp 300 + Rp 400 = Rp 700 dan total pengeluaran adalah Rp 300. Jika dijumlahkan, maka kelompok distributor secara keseluruhan akan mendapatkan untung sebesar Rp 700 – Rp 300 = Rp 400.

Skenario 1 adalah skenario skema piramida murni. Skenario 2 adalah skenario ‘klub belanja’. Sedangkan Skenario 3 adalah skenario penjualan langsung. Distributor pada sebuah MLM melakukan ketiga skenario ini, tapi yang menghasilkan keuntungan hanya skenario yang terakhir. Tinggal dihitung proporsinya, apakah secara keseluruhan menghasilkan keuntungan atau tidak.

***
Saya bisa mendengar di belakang ada yang berteriak, “Ah, itu kan cuma teori!!”
Lagi-lagi karena hukum perlindungan konsumen di Amerika Serikat yang jauh lebih baik daripada di Indonesia maka kita bisa melakukan perhitungan secara kuantitatif. Pada tahun 1979, Lembaga Perdagangan Federal Amerika Serikat (FTC) mengharuskan Amway –nenek moyangnya bisnis MLM– untuk mencantumkan nilai rata-rata pendapatan dari seluruh distributor. Informasi ini tercantum dalam dokumen SA-4400 yang wajib untuk diserahkan kepada semua calon distributor baru.

Para punggawa MLM seringkali menitikberatkan presentasi pada keuntungan segelintir distributor yang berada pada puncak piramida, tetapi tidak melihat kelompok distributor secara keseluruhan. Ini adalah praktik cherry picking yang mengaburkan kondisi sebenarnya. Tetapi terima kasih kepada FTC, kini kita dapat mengetahui nilai pendapatan rata-rata dari hampir seluruh lapisan distributor, bukan hanya yang berada di dekat puncaknya saja.

Yang perlu digarisbawahi di sini adalah kata-kata ‘gross’ dan ‘active’.Gross income artinya adalah keuntungan kotor yang belum memperhitungkan pengeluaran. Sedangkan ‘active’ berarti angka tersebut hanya berlaku untuk distributor yang dianggap aktif saja. Sayangnya perhitungan ini membagi kelompok distributor menjadi dua: yang aktif dan yang tidak aktif. Dengan demikian kita tidak dapat mengetahui apakah $115 itu murni berasal dari keuntungan dari penjualan ke masyarakat non distributor, ataukah sudah termasuk dana yang disetorkan oleh distributor non aktif. Tetapi walaupun demikian sudah jelas bahwa pendapatan sebesar $115/bulan sangat jauh tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari di Amerika Serikat, dan ini masih belum memperhitungkan biaya-biaya yang dikeluarkan sebagai konsekuensi menjadi seorang distributor.

Saat ini FTC sedang mempertimbangkan untuk memberlakukanperaturan baru soal MLM dan bisnis peluang bisnis lainnya, bukan Amway saja. Nantinya jika sebuah MLM mengklaim jumlah pendapatan (termasuk di antaranya adalah klaim kualitas hidup seperti gambar-gambar rumah mewah, mobil mewah, pesawat terbang, kapal pesiar), maka mereka diharuskan untuk memberikan data-data kuantitatif lebih lanjut tentang klaim tersebut. Jika peraturan ini diberlakukan, calon anggota MLM di Indonesia mungkin nantinya akan dapat memanfaatkan data-data ini sebagai bahan pertimbangan untuk menilai sebuah MLM yang memiliki cabang di Amerika Serikat.

Seandainya Indonesia membutuhkan hukum perlindungan konsumen terhadap bisnis peluang bisnis, rasanya patut sedikit mencontoh langkah FTC di Amerika Serikat ini. Tetapi walaupun hukumnya belum ada, perusahaan yang jujur pasti bersedia untuk menyerahkan data-data yang diperlukan sebagai bahan pertimbangan kepada calon distributornya. Mintalah data-data seperti jumlah penghasilan rata-rata, tren jumlah distributor, distribusi pendapatan, jumlah distributor yang berhenti dan data-data relevan lainnya ketika sedang ‘diprospek’.


1 komentar:

beatrixhacke mengatakan...

Casinos Near Casinos in Washington State | MapyRO
Find Casinos Near Casinos in Washington 부천 출장샵 State 원주 출장안마 in realtime at MapyRO. 경산 출장마사지 Casinos in 안동 출장안마 Washington State. 1. Horseshoe Casino, Cherokee, NC 공주 출장안마